Senin, 10 November 2008

Iman kepada keesaan Tuhan (Tauhid).

Definisi Tauhid

Sebagaimana diketahui bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang secara teori lahir pada masa al- Makmun[3] yang membahas tentang ke-Esaan dan kemahakuasaan Tuhan dengan menggunakan logika bahwa semua yang ada di dunia ini adalah sebagai bukti keberadaan-Nya. Tauhid, selain membahas tentang ke-Esaan Tuhan juga membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Baik itu berupa sifat-sifatNya, kehendakNya, utusan-utusanNya, hari kiamat, pembalasan Tuhan, taqdirNya dll. Kelompok yang pertama kali berbicara tentang (tauhid) sifat, sorga, neraka, pembalasan Tuhan dalah Khawarij yang awalnya menyikapi pertentangan politik mengenai perebutan khalifah antara sahabat Ali dan sahabat Mu’awiyah yang pada akhirnya merembet pada masalah akidah.[4] Yang dari sinilah kemudian banyak bermunculan aliran-aliran (firqoh-firqoh/ sekte) yang berbeda pendapat mengenai hal-hal tersebut di atas, sehingga ada yang disebut Khawarij, Syiah, Mu’tazilah, Ahlussunah, Murji’ah dll, yang kesemuanya itu memperdebatkan tentang ke-Esaan Tuhan dan semua yang berhubungan dengan Tuhan.

Tauhid dan permasalahannya

Tauhid menjadi suatu cabang keilmuan mandiri yang memiliki bahasan khusus tersendiri yaitu tentang Tuhan, sifatNya, kekuasaanNya, sorga, neraka, kufur, murtad, mukmin, taqdir Tuhan dll. Tauhid menjadi ilmu yang cemerlang dan sempat menghebohkan peradaban Islam pada abad 4-5 Hijriyah, dimana tauhid menjadi ilmu yang favorit dan banyak diminati oleh para santri waktu itu. Persoalan tauhid-lah yang telah mengharuskan Imam Syafi’i dirantai bahkan hampir dihukum pancung oleh penguasa saat itu. Tauhid pula yang mengharuskan Imam Hanbali diperiksa dan hampir juga dihukum mati oleh penguasa yang dikenal dengan peristiwa Mihnah. Persoalan tauhid pula yang menyebabkan ratusan ulama Sunni dibunuh oleh rezim Mu’tazilah karena tidak mau mengakui al Quran sebagai makhluk. Sehingga sejarah tauhid dalam Islam betul-betul menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Tauhid antara Elit dan Alit

Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan degradasiNya (kedudukan). Ilmu tauhid selalu memperdebatkan tentang kondisi Tuhan dan berusaha melogika-kan bahwa Tuhan itu betul-betul ada, ilmu tauhid juga mempertahankan posisi Tuhan dan selalu menunjukkan kemaha-kuasaan Tuhan, bahkan perdebatannya pun sejak dulu selalu tentang Tuhan dan berusaha memperkuat posisi Tuhan. Akibatnya asumsi yang muncul adalah ilmu tauhid adalah ilmu yang “membela Tuhan”.

Akibat itu pula, tauhid menjadi elitis dan hanya dimiliki dan diikuti oleh para ulama dan agamawan, sedangkan para kaum awam tidak diperkenankan ikut membicarakannya karena khawatir murtad dan kufur, hal itu didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi, Berfikirlah kalian semua akan ciptaan Allah dan jangan berfikir akan DzatNya.[5] Akibat hadis ini pula perkembangan ilmu tauhid juga mandeg hingga sekarang, karena beranggapan bahwa yang berhak membicarakan dan membongkar epistemologi tauhid/ kalam hanya ulama zaman dulu. Akhirnya ilmu tauhid betul-betul menjadi ilmu yang elit dan tertutup.

Dalam teologi/ tauhid ada dua pemahaman dalam rangka memahami Tuhan yaitu: pertama: Tuhan dipahami sebagai sosok yang trasenden (jauh). Tauhid dalam pemahaman ini, tidak pernah diajak untuk membicarakan dam mendiskusikan tentang kondisi umat yang saat ini ada dihadapan kita, tauhid tidak pernah diajak untuk menyelesaikan sekian persoalan yang dihadapi kebanyakan umat Islam saat ini, baik itu berupa kemunduran, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Yang semua masalah itu selalu menghantui umat Islam hampir diseluruh negara. Hal itu akibat memposisikan kondisi Tuhan yang jauh dari kita karena tauhid yang diyakini sekarang adalah tauhid yang (seakan-akan) berfungsi hanya membela Tuhan yang jauh diatas sana.

Kedua: Tuhan dipahami sebagai suatu imanen (dekat dan menyatu) dengan hambaNya. Dalam pemahaman ini tauhid dihadirkan dalam setiap perjuangan, dan selalu menjadi spirit dakwah yang selalu dikaitkan dengan persoalan umat ini, sehingga tauhid terasa dekat dengan umat.

Realitas umat Islam saat ini

Melihat pemahaman umat Islam saat ini jika mengaitkan tauhid dengan persoalan kemanusiaan sekarang adalah sbb:

1. Umat Islam yang percaya dan meyakini bahwa kemunduran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami umat Islam saat ini adalah akibat takdir Tuhan. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang bisa membendung dan menolaknya. Oleh karena itu, tiada lain solusinya kecuali mengembalikan pada Tuhan dengan banyak bertobat, banyak berdoa, istighotsah dan selalu memohon pertolongan kepadaNya.

2. Umat Islam yang meyakini dan percaya kemunduran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam saat ini akibat perbuatan para musuh Islam yaitu Yahudi (zionisme). Yang kebetulan mereka sekarang sedang maju dam memegang kendali dunia dengan modal(kapital) dan pengetahuan tehnologi, sehingga dengan mudah mempermainkan umat Islam dan negara Islam. Mereka adalah Amerika dan Eropa serta para sekutunya. Oleh karenanya, solusi tepat untuk membuat Islam maju dan berkembang adalah selain berdoa pada Allah juga dengan cara melawan (jihad) dengan cara apapun, termasuk bom bunuh diri.

3. Kelompok ketiga adalah kelompok yang mencoba setengah-setengah atau moderat, bahwa semua persoalan umat Islam saat ini selain karena takdir Tuhan juga karena akibat musuh di luar Islam. Oleh karenanya solusi yang baik menurut kelompok ini adalah selain berdoa juga harus belajar yang rajin agar bisa menyaingi musuh Islam dan bisa mengalahkan mereka dalam semua disiplin keilmuan, meskipun kelompok ini juga tidak memiliki orientasi dan struktur keilmuan yang jelas dan terarah.

4. Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok yang progresif transformatif dan mencoba berpandangan jauh kedepan, kelompok ini tidak mau terjebak dalam perdebatan tauhid masa lalu yang melelahkan, kelompok ini membawa tauhid sebagai ilmu yang imanen (dekat). Tauhid bagi kelompok ini adalah tauhid yang menjadi spirit perjuangan, sebagaiman masa Nabi, dimana tauhid berfungsi dua hal. Pertama,memberantas penyembahan berhala (penyembahan/ ketergantungan pada selain Allah swt). Kedua, menghapus dominasi kaum kaya Makah yang selalu mengeploitasi kaum lemah (budak dan kaum miskin). Dalam orientasi ini Nabi menunjukkan bahwa ajarannya tidak hanya terfokus pada persoalan iman (tauhid) belaka, akan tetapi juga menyangkut masalah sosial berupa menegakkan keadilan, kesetaraan, membantu kaum lemah, memebebaskan umat dari keterbelakangan, dan kebodohan. Yang kesemuanya ini didasari oleh spirit tauhid. Sehingga tauhid menjadi ilmu yang selalu bisa menyatu dengan zaman dan menjadi dekat dengan umat. Akibatnya tauhid bukan lagi menjadi ilmu yang bertugas membela Tuhan. Kelompok ini membawa berbagai sifat Tuhan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dimana jika Tuhan Maha Penyayang, maka bagaimana kita sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fi al ardh) harus bisa bersifat penyayang kepada sesama manusia. Jika Tuhan punya sifat al Bashir (Melihat), maka bagaimana kita sebagai wakilNya bisa melihat kondisi dan realitas di sekitar, bahwa masih banyak tetangga yang butuh diperjuangkan dan butuh pertolongan kita. Demikian juga sifat Tuhan yang lain seperti as Sami’ (Mendengar), maka bagaimana kita mendengar jeritan dan tangisan pedagang kaki lima yang gerobak dagangnya digusur oleh Satpol PP, atau bagaimana kita bisa melihat jeritan ibu tua yang terserang kanker yang tidak diobati karena tidak ada biaya dll.

Penutup

Demikian refleksi tauhid ini, semoga kita bisa mengambil hikmah dari tulisan di atas dan bisa memposisikan tauhid sebagaimana layaknya sesuai dengan porsinya. Yang jelas menurut Amin Abdullah, agar tidak terlalu terkesan sakral dan menakutkan, maka sebaiknya tidak menggunakan istilah tauhid melainkan menggunakan istilah filsafat tauhid. Sebab ilmu tauhid diakui atau tidak merupakan karya manusia yang penuh pergumulan intelektual keilmuan dan tauhid merupakan bentuk falsafah yang berwujud gagasan-gagasan pemikiran manusia tentang keTuhanan yang dibentuk oleh kondisi zaman waktu itu. Nah, karena tauhid adalah suatu pergumulan keilmuan, maka sewaktu-waktu bisa berubah dan dimungkinkan untuk dikembangkan.[6]

*) Penulis adalah siswa kelas III Tsanawiah MHM Lirboyo Kediri

Daftar pustaka :

1. Abi Abdillah Muhammad bin Mazid al Qusyairi, Sunan Ibnu Majah, Libanon Dar al Fikr 1995 M/1415 H juz 2

2. Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historias ?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2002

3. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2000 bag. I & II

4. M. Laili Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta : Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1884



[1] Selain istilah ilmu tauhid, juga bisa menggunakan ilmu kalam atau teologi Islam

[2] Hal ini berawal dari Hadis Nabi tentang devinisi Iman, Islam, dan Ihsan, lihat pada karya Imam Abi Abdillah Muhammad bin Mazid al-Qurasyari, Sunan Ibnu Majah, Libanon: Dar al-Fikr, 1995 M/ 1415 H. Juz I, Hal. 37

[3] M. Layli Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan 1884 hlm 24

[4] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000 bagian ke 1&2 hlm 159

[5] تفكروفى خلق الله ولاتفكروفى ذات الله (Tafakkaruu fi khalqillah walaa tafakkaruu fii dzatillah)

[6] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Histirisitas ?, Yogyakarta : Putaka Pelajar, 2002 hlm. 129

Pengirim : mnh

Hidup Sesudah Mati

Dalam membahas Takdir, Kehendak Allah dan Kehendak Manusia dapat dibagi menjadi beberapa tahapan. Yang pertama, penciptaan awal alam semesta. Yang kedua, setelah penciptaan alam semesta dan yang ketiga, berakhirnya alam semesta.
1. Penciptaan alam semesta
Yang menciptakan alam semesta adalah Allah yang tidak berawal. Penciptaan ini disampaikan Allah melalui Alquran Surat Al Baqarah (2) ayat 117 “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia.”
Dalam penciptaan alam semesta tidak langsung “jemegler”, tetapi melalui proses waktu. Proses ini memerlu waktu 6(enam) hari. Waktu enam hari atau enam masa ini menunjukkan bahwa proses penciptaan membutuhkan waktu.“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya[711], dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini[712] tidak lain hanyalah sihir yang nyata." (QS Huud (11) ayat 7.)Allah tidak menciptakan langit dan bumi hanya satu, tetapi banyak langit dan bumi. Menurut ilmu pengetahuan langit dan bumi kita disebut dengan solar system. Dalam satu galaxy (gugusan bintang) teridiri bermilyar-milyar langit dan bumi (solar system). Belum lagi dalam Nebula, Himpunan Nebula, Group Nebula dan Guci (Harun Yahya dalam Matematika Alquran). Maha Suci Allah Yang Maha Menggerakkan.
” Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.(QS Ath Thalaaq(65) ayat 12) “ .
Allah menciptakan 7 (tujuh) langit dan bumi ini menunjukkan sangat banyak. Allah menciptakan alam semesta ini dengan penuh perhitungan, ukuran, kadar, formula (rumusan) yang sangat cermat dan sempurna. "Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21)”.
Kita mungkin belum bisa membayangkan bahwa bumi dan planet-planet lainnya beredar mengitari matahari. Dan matahari dan planet-planetnya (termasuk bumi) yang bermilyar-milyar jumlahnya juga mengitari pusat Galaxy. Dan galaxy mengitari pusat Nebula dan seterusnya sampai Guci dan seluruhnya bersama-sama mengitari pusat Alam Semesta (’Alamiin) dengan kecepatan yang sangat tinggi (Ada yang mempunyai kecepatan 250 km per detik sampai 100.000 km per jam dan ada yang satu putaran membutuhkan waktu 250 juta tahun). Betapa cepat gerakan ini. hanya kemurahan Allah manusia bisa menempel di permukaan bumi dan alangkah jauhnya bila dibanding umur manusia. Maha Besar Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38.”

Setelah alam semesta tercipta dan semua fasilitas kehidupan tersedia, Allah menciptakan manusia dan hewan. Allah menciptakan dari tanah.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (QS Al Hijr(15) ayat 26)”.Dan hewan diciptakan dari air. “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS An Nuur (24) ayat 45)”.
Penciptaan manusia dilakukan, tidak dengan “jemegler”, tetapi tentunya dilakukan dengan suatu proses dan penyempurnaan.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS Al 'Ankabuut (29) Ayat 19”.

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) (QS Al ‘A’la (87) ayat 1 dan 2)”.

Alam semesta dan isinya ( termasuk manusia dan hewan ) diciptakan oleh Allah berdasarkan ukuran, kadar, perhitungan, formula (rumusan), hukum-hukum dan teori-teori secara sempurna dan sangat cermat. Sesungguhnya inilah yang disebut dengan takdir dan kehendak Allah. Semua yang tercipta atas kehendak Allah. Dalam bahasa agama, Allah sudah menentukan Qadar dan Qadhanya.
Qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukurannya (kadar, perhitungan dan rumusan) yang ditentukan.
Sedang Qadha adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Qadha ini meliputi antara lain hukum-hukum, (siklus) atau tasalsul (kausalitas) dan teori al imkan (teori probabilitas) yang mengatakan alam itu bersifat mungkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat-illat yang menyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat-illat tersebut harus berakhir pada zat yang wajib ada, wajib al wujud (Halimi Zuhdy). Ini semua adalah ilmu Allah.
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.(QS Al Hajj (22) ayat 70).”

Ilmu Allah adalah pasti. Hidrogen pasti tidak terjadi air tanpa adanya Oksigen. Orang jatuh dari ketinggian pasti jatuh kebawah. Ini kepastian menurut Hukum Grafitasi. Pada waktu tertentu daun pasti layu dan berguguran.

Hakekat Manusia

I. WAWASAN TENTANG MANUSIA

1. Mengenal dan menjelaskan hakekat manusia Indonesia seutuhnya, meliputi kajian dimensi keindividuan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman serta cara pengembangannya.
2. Kemampuan tersebut diharapkan menjadikan kita lebih bijaksana dalam melaksanakan fungsi dan peranannya sebagai pendidik yang profesional.
1.1. Hakekat Manusia dengan dimensi-dimensinya
Untuk memahami hakekat manusia berturut2 dibahas beberapa pengertian berdasarkan:
Pandangan berbagai agama, filsafat kuno maupun modern, terutama menurut pandangan filsafat Pancasila.
Pandangan para pakar biologi, psikologi dan perdagogi.
Dimensi keindividuan, kesosiialan, kesusilaan dan keberagamaan manusia.
Hakekat Manusia
1. Kepustakaan hindu (Ciwa) menyatakan bahwa atman manusia datang langsung dari Tuhan (Bathara Ciwa) dan sekaligus menjadi penjelmaannya.
2. Kepustaan agama Budha menggambarkan bahwa manusia adalah mahluk samsara, merupakan wadah dari the absolute yang hidupnya penuh dengan kegelapan.
3. Pendapat kaum pemikir kuno yang bercampur dengan mistik menyatakan bahwa manusia adalah manifestasi yang paling komplit dan paling sempurna dari Tuhan Yang Maha Esa, intisari dari semua mahluk yang memiliki kecerdasan.
4. Filosof Socrates menyatakan bahwa hakekat manusia terletak pada budinya yang memungkinkan untuk menentukan kebenaran dan kebaikan. Plato dan Aristoteles menyatakan hakikat manusia terletak pada pikirnya.
5. Tokoh Dunia Barat melanjutkan pendapat Plato & Aristoteles tentang hakekat kebaikan manusia yg selanjutnya bergeser ke pandangan humanistik yg menyatakan manusia merupakan kemenyuluruhan dari segala dimensinya. (1), Spinoza berpandangan pantheistik menyatakan hakekat manusia sama dengan Tuhan dan sama pula dengan hakekat alam semesta. (2), Voltaire mengatakan hakekat manusia sangat sulit untuk diketahui dan butuh waktu yang sangat panjang untuk mengungkapkannya.
6. Notonagoro mengatakan manusia pada hakekatnya adalah mahluk mono-dualis yang merupakan kesatuan dari jiwa dan raga yg tak terpisahkan.
7. Para ahli biologi memandang hakekat manusia titik beratnya pada segi jasad, jasmani, atau wadag dengan segala perkembangannya. Pandangan ini dipelopori oleh Darwin dengan teori evolusinya.
8. Para ahli psikologi sebaliknya menyatakan bahwa hakekat manusia adalah rokhani, jiwa atau psikhe.
9. Ahli teori konvergensi antara lain William Stern berpendapat bahwa hakekat manusia merupakan paduan antara jasmani dan rokhani.
10. Pandangan dari segi agama, Islam, Kristen, dan Katolik menolak pandangan hakekat manusia adalah jasmani dengan teori evolusi. Hakekat manusia adalah paduan menyeluruh antara akal, emosi dan perbuatan. Dengan hati dan akalnya manusia terus menerus mencari kebenaran dan dianugerahi status sebagai khalifah Allah.
11. Pancasila memandang hakekat manusia memiliki sudut pandang yg monodualistik & monopluralistik, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, integralistik, kebersamaan dan kekeluargaan.



Dimensi-dimensi Manusia
1.1.1. Dimensi keindividuan
Manusia adalah mahluk monodualis ciptaan Tuhan yang dikaruniai status sebagai Khalifah Allah di atas bumi.
Bayi dianugerahi keadaan jasmani yang lemah tetapi memiliki potensi-potensi jasmaniah berupa konstruksi tubuh lengkap serta rokhaniah berupa daya cipta, rasa, karsa, intuisi, bakat.
Faktor-faktor potensi bawaan inilah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainya yg bersifat unik yang dapat berkembang dengan adanya pengaruh lingkungan.

1.1.2. Dimensi kesosialan
Manusia disamping mahluk mono-dualis sekaligus mahluk mono-pluralis.
Manusia dilahirkan sebagai suku bangsa tertentu dengan adat kebudayaan tertentu pula.
Sebagai anggota suatu masyarakat, seseorang berkewajiban untuk berperan dan menyesuaikan diri serta bekerja sama dengan masyarakat.
Manusia dan masyarakat merupakan realitas yang saling memajukan & saling memperkembangkan.
Manusia pada dasarnya memiliki dimensi kesosialan.

1.1.3. Dimensi kesusilaan
Manusia dengan kemampuan akalnya memungkinkan untuk menentukan sesuatu manakah yang baik dan manakah yang buruk, manakah yang pantas dan manakah yang tidak pantas.
Dengan pertimbangan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya memungkinkan manusia untuk berbuat dan bertindak secara susila.

1.1.4. Dimensi keberagamaan
Manusia adalah mahluk religius yang dianugerahi ajaran-ajaran yg dipercayainya yang didapatkan melalui bimbingan nabi demi kemaslahatan dan keselamatannya.
Manusia sebagai mahluk beragama mempunyai kemampuan menghayati pengalaman diri dan dunianya menurut agama masing-masing.
Pemahaman agama diperoleh melalui pelajaran agama, sembahyang, doa-doa maupun meditasi, komitmen aktif & praktek ritual.
1.2. Konsep Manusia Indonesia Seutuhnya
Konsep manusia Indonesia seutuhnya dikembangkan atas pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila, yang menganut paham integralistik disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Dengan pandangan hidup Pancasila, pengembangan manusia Indonesia seutuhnya diusahakan agar hidup selaras, serasi dan seimbang dalam konteks hubungan manusia dengan ruang lingkupnya.

Manusia sebagai pribadi yang utuh
Dalam hidupnya, manusia perlu adanya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan yang menyangkut dua hal yaitu pengembangan jasmani dan rokhani dan keseimbangan dalam pengembangan daya cipta (kognisi), rasa (emosi), dan karsa (konasi).

Manusia yg utuh hubungannya dg masyarakat
Manusia tidak akan mampu hidup tanpa bantuan orang lain.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia hanya mempunyai arti dan dapat hidup bila berada di antara manusia lain berkat adanya interaksi dan adanya saling ketergantungan pada orang lain.

Manusia utuh hubungannya dg alam
Alam diciptakan beserta isinya memberikan kemudahan, kenikmatan dan tantangan bagi hidup manusia.
Manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga kelestarian alam lingkungan dengan melakukan penghematan dalam pemakaian sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, serta memperhitungkan secara rinci berbagai dampak lingkungan akibat kegiatan pemanfaatannya.

Manusia utuh hubungannya dg Tuhan
Jauh dekatnya hubungan ditandai dengan tinggi rendahnya keimanan dan ketaqwaan manusia yang bersangkutan.
Di dalam masyarakat Pancasila, meskipun agama dan kepercayaan yang dianutnya berbeda-beda, diupayakan terciptanya kehidupan beragama yang mencerminkan adanya saling pengertian, menghargai, kedamaian, ketentraman, & persahabatan.

Hubungan manusia Indonesia dengan bangsa-bangsa lain
Dijiwai dengan bagian pembukaan UUD 45 bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan keadilan.
Dg dijiwai cinta damai & cinta kemerdekaan, manusia Indonesia senantiasa menginginkan hidup berdampingan dengan bangsa lain secara damai dan tenteram.

Hubungan manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah & kebahagiaan rokhaniah
Sesuai dengan dasar pengendalian diri dalam mengejar kepentingan, pribadi, maka manusia Indonesia yang mendasarkan diri pada pandangan hidup Pancasila dalam mewujudkan tujuan hidupnya, memiliki kesadaran bahwa setiap gerak arah & cara-cara melaksanakan tujuan hidupnya senantiasa dijiwai oleh Pancasila.

1.3. Pengembangan Dimensi Hakekat Manusia
Usaha pengembangan hakekat manusia dalam dimensi keindividuan, kesosialan, kesusilaan, & keberagamaan berangkat dari anggapan dasar bahwa manusia secara potensial memiliki semua dimensi tersebut, yang memungkinkan dan harus dapat dikembangkan secara bertahap, terarah dan terpadu melalui pendidikan sehingga dapat menjadi aktual.

Konsep dasar pengembangan manusia sebagai makhluk individu
Manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesemestaan mampu mengembangkan interelasi dan interaksi dengan orang lain secara selaras serasi seimbang tanpa kehilangan jati dirinya.
Pengembangannya sebagai peserta didik diselenggarakan dalam lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, & masyarakat pengembangan self extence menyangkut aspek jasmani-rohani, cipta-rasa-karsa sebagai dimensi keindividuan.

Pengembangan manusia sebagai makhluk sosial
Manusia sejak lahir hingga ajalnya perlu dibantu oleh orang lain.
Manusia harus merasa sadar dirinya terpanggil untuk berbuat baik bagi orang lain dan masyarakat.
Pengembangan dimensi tersebut harus dimulai sejak di keluarga, sekolah dan masyarakat, untuk itu nilai/norma/kaidah yang berlaku didalam keluarga juga perlu dijunjung tinggi di sekolah dan masyarakat.


Pengembangan manusia sebagai makhluk susila
Hanya manusia sajalah yang mampu menghayati norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sehingga dapat menetapkan pilihan tingkah laku yang baik dan yang buruk.
Bagi manusia Indonesia norma-norma dan nilai-nilai yang perlu dikembangkan adalah nilai-nilai universal yang diakomodasi dan diadaptasi dalam nilai-nilai khas yang terkandung dalam budaya bangsa.
Sebagai manusia Indonesia yang ideal adalah manusia yang memiliki pikiran, ide, gagasan yang terkristal dalam kelima nilai dasar dalam Pancasila.

Pengembangan manusia sebagai makhluk beragama
Sementara pihak ada yg lebih mengutamakan terciptanya suasana penghayatan keagamaan lebih dari pengajaran keagamaan.
Untuk itu yg perlu diutamakan adalah sikap teladan dari orang tua, guru dan pendidik lainnya disertai dengan pilihan metode pendidikan yang tepat dan ditunjang dengan kemudahan-kemudahan fasilitas yang memadai.
Demikian pula halnya di sekolah dan di masyarakat yang religius.

Konsep Manusia dalam al-Qur’an

Muqaddimah

Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.

Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.

Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.

Konsep manusia dalam al-Qur’an

Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,[1]menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.[2]

Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.[3]

Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.

Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. [4]

Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh.[5] Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.

Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.

Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an

Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.[6]

Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain[7] menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”

Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”

Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.[8]

Penutup

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.

Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

Daftar Pustaka

Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000

Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003

Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002

Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989

——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000



[1] Penciptaan/keberadaan manusia menurut al-Qu’an ini dapat dkategorikan menjadi tiga fase. Pertama,kemunculan Adam manusia pertama. Penciptaan Adam sebagai manusia, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ia diciptakan dari semacam tanah liat. Dan atas kehendak Allah maka jadilah Adam dalam rupa manusia. Manusia pertama ini, hadir tanpa ibu dan bapak. Kemudian, kedua, diciptakannya manusia kedua yaitu Hawa, yang disebutkan bahwa ia berasal dari tulang rusuk kiri Adam. Manusia kedua ini hadir tanpa ibu. Ketiga, fase inilah yang menjadi gambaran umum manusia. Yaitu hadir dengan adanya bapak dan ibunya.

[2] Turunnya Adam menurut Alamah Kamal Faqih Imami sedikit banyak diilustrasikan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 11-25. Alamah Kamal Faqih Imami, Tafsir Nurul Qur’an, terj. R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, jilid I, 2003, hal 156-171. Di dalam kitab tafsirnya ini, beliau juga menafsirkan turunnya Adam dan Hawa adalah sekenario Allah semata. Hal ini karena pada dasarnya Bapak Adam dan Ibu Hawa (manusia) memang diciptakan untuk menghuni bumi—menjadi khalifah di bumi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan: “Ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” Ini menjelaskan bahwa Allah sejak awal telah menetapkan bahwa manusialah yang akan menghuni bumi.

[3] Mengenai sujudnya Malaikat pada Adam ini, Alamah kamal Faqih Imani menafsirkan sebagai sebuah sujud yang tidak dimaksudkan untuk beribadah layaknya sujudnya para Malaikat pada Allah. Tetapi sujud ini adalah sujud sebagai sebuah representasi penghormatan para Malaikat pada Adam. Ibid. Hal. 166.

[4] Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7 mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat. Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan dalam manusia.” K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000. hal.204.

[5] Ruh atau jiwa di sini jangan diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan lainnya

[6] Banyak kalangan dari umat Islampun masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Apakah Adam yang dimaksud di sini adalah benar-benar manusia pertama, ataukah ada Adam-Adam lain sebelumnya? Ini disandarkan pada alasan bahwa jika Adam ini adalah manusia pertama, rentang waktu kehidupan manusia pertama ini dengan manusia masa kini masihlah terlalu singkat yaitu sekitar lima belas ribu tahun. Satu masa yang dapat dikatakan sedikit dibandingkan umur bumi sendiri yang dikatakan sampai milyaran tahun. Dengan argumen inilah beberapa kalangan muslimin menyatakan bahwa ada Adam-Adam lain selain yang disebutan al-Qur’an. Dan mengenai keberadaan Adam di surga, itu juga tidak surga dalam artian sebenarnya menurut kalangan ini. Surga di sini menurut mereka adalah satu tempat di bumi ini yang karena keindahannya dan kemudahannya dalam meraih sesuatu digambarkan seperti surga. Tentu pendapat inipun mendapat sanggahan, dengan argumen bahwa Adam yang disebutkan al-Qur’an ini memang benar-benar manusia pertama yang menghuni bumi, dan ia benar-benar diturunkan Allah dari surga, lagi-lagi itu karena kemaha Kuasaan Allah SWT, dan apa yang tidak mungkin bagi Allah. Kalau menciptakan alam saja mampu, kenapa harus diragukan ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, tentu bagi Allah itu bukan hal yang sulit. Perdebatan yang menarik, dan memang sepertinya tak akan pernah selesai. Begitu menariknya makhluk yang bernama manusia ini! (Penjelasan matakuliah ulumul Qur’an, Pak Subandi)

[7] Harun Yahya misalnya yang berjuang mati-matian untuk mengcover teori evolusi Darwin.

[8] Ada satu hal lagi berkaitan dengan dua pendapat di atas, yang mencoba menjembatani perdebatan sengit itu. Meskipun tidak nampak begitu berhasil, dan malah menjadi satu golongan tersendiri yang nampak mendukung teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa dari beberapa aspek apa yang dikatakan oleh Darwin memang benar adanya. Bahwa manusia memang berevolusi. Namun, sayangnya Darwin terlalu materialis dalam melihat evolusi manusia, sehingga permata dalam diri manusia, jiwa, terabaikan dinegasikan Darwin begitu saja. Dan pedapat para tokoh sufi seperti Mulla Shadra, yang sering kali ditekankan Dr. Haidar Bagir dalam tiap kali perbicangannya menyatakan bahwa manusia memang berevolusi, bukan sekedar fisik saja, jiwanyapun berevolusi mencari kesejatian diri, menuju Tuhan. Dan dalil al-Qur’an tentang Adam dan Hawa yang sering ditafsirkan manusia pertama yang diturunkan dari Surga hanyalah simbolitas saja.

KONSEP DIRI SEORANG MANUSIA

1. Hakikat penciptaan manusia.
Asal kejadian manusia :
(1) Dari tanah (turob, 3:59), tanah liat (lazib, 37:11), tanah kering dan lumpur hitam (shalshaal, 15:28), saripati tanah (23:12).
(2) Dari air yang hina (32:7-8), dari air yang dipancarkan (86:6-7), dari nuthfah (36:77).
Jelaskan bahwa dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut Allah mengingatkan manusia tentang asal kejadiannya (Adam) yaitu dari tanah dengan berbagai unsurnya, dan keturunannya diciptakan dari saripati tanah berupa air mani yang hina, sehingga sepantasnya manusia menyembah Allah yang telah menciptakannya dengan penuh ketawadhuan.
(3) Adalah fakta bahwa Allah menciptakan manusia dengan ruh yang memiliki sifat-sifat tersebut. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah ayat Allah:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS.
As-Sajadah, 32: 7-9)

Allah SWT telah menciptakan manusia dari sesuatu yang hina melalui suatu proses sehingga tercipta manusia yang sempurna. Maka manusia tidak boleh sombong & takabbur karena semua apa yang ada pada manusia berasal dari
kemauan Allah SWT. Allah SWT juga telah mengajarkan semua pengetahuan yang telah manusia punyai.

2. Berikan penjelasan tentang kedudukan (tugas) manusia di dunia.
(1) Sebagai hamba Allah
Tugas utama diciptakannya manusia adalah sebagai hamba Allah yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya Rabb yang disembah dan sebagai prioritas utama cinta kita.
(2) Sebagai khalifah di bumi
Kedudukan manusia sebagai wakil Allah di bumi untuk mewujudkan eksistensi Allah di bumi dengan memberi kontribusi mengatur bumi berdasarkan syari’at yang ditetapkan Allah (2:30, 6:65, 33:72), memanfaatkan kekayaan bumi dengan ketentuan Allah (11:61) dan berlaku adil demi kemaslahatan dan kebaikan (57:25, 38:26).

Apapun aktivitas manusia didunia jangan sekali-kali melupakan tugas & kedudukannya sebagai manusia yaitu menegakkan kalimatullah dengan semampunya. Allah SWT juga telah memberikan kekuatan baik jasmani & rokhani untuk mendukung tugas-tugasnya tersebut, seperti kemampuan fisik, kemampuan berpikir, kemampuan beradaptasi, dll.

3. Berikan penjelasan tentang tujuan penciptaan manusia.
Dalam QS 51:56 disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Segala aspek kehidupan seorang hamba Allah seharusnya dilakukan dalam rangka persembahannya kepada Allah SWT dengan niat hanya untuk mencapai keridhaan-Nya.

Apapun aktivitas dan cita-cita manusia didunia seharusnya ditujukan untuk satu tujuan yaitu dalam rangka beribadah pada sangan Maha Pencipta. Maka manusia harus mengatur waktunya, meneliti bagian hidupnya untuk memenuhi tujuan penciptanannya.

Untuk mencapai semua tujuan dan tugas manusia tersebut diatas Allah SWT juga telah menciptakan seluruh alam semesta hanya untuk manusia.

Pernahkan anda berpikir bahwa setiap sesuatu diciptakan untuk manusia saja? Ketika seseorang yang beriman kepada Allah mengamati segala sesuatu beserta sistim yang ada, hidup ataupun tak hidup, yang ada di jagad raya dengan menggunakan mata yang penuh perhatian, ia melihat bahwa segalanya telah diciptakan untuk manusia. Ia mengetahui bahwa tak satupun yang muncul dan menjadi ada di dunia secara kebetulan, namun diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang sangat sesuai untuk kehidupan manusia.
Misalnya, dari dulu hingga sekarang manusia dapat bernapas tanpa susah payah di setiap saat. Udara yang ia hirup tidak membakar saluran hidungnya, tidak membuatnya mabuk ataupun sakit kepala. Komposisi unsur-unsur ataupun senyawa-senyawa gas dalam udara telah ditetapkan dalam jumlah yang paling sesuai untuk tubuh manusia. Seseorang yang memikirkan hal ini teringat akan hal lain yang sangat penting: seandainya kadar oksigen dalam atmosfir sedikit lebih atau kurang dari yang ada sekarang, dalam dua keadaan tersebut kehidupan akan hancur. Ia lalu ingat betapa susahnya bernapas ketika berada dalam tempat yang tidak mengandung udara. Ketika seorang yang beriman terus-menerus memikirkan masalah ini, ia akan selalu bersyukur kepada Tuhannya. Ia melihat bahwa atmosfir bumi dapat saja dibuat sedemikian rupa sehingga membuatnya susah untuk bernapas sebagaimana banyak planet-planet yang lain. Namun tidak lah demikian kenyataannya, atmosfir bumi diciptakan dalam keseimbangan dan keteraturan yang demikian sangat sempurna sehingga membuat jutaan manusia bernapas tanpa susah payah.
Sungguh, tidaklah mungkin untuk menyebutkan jumlah seluruh contoh-contoh yang berkenaan dengan keseimbangan yang sempurna di bumi. Bagi orang yang berpikir, ia akan dapat dengan mudah menyaksikan keteraturan, kesempurnaan
dan keseimbangan yang terlihat jelas di setiap sudut jagad raya, dan dengannya mencapai suatu kesimpulan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah untuk manusia. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.”
(QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)

“Ind”

Bersambung

Sumber : LP2i , Deep Thinking (Harun Yahya), Jaddid Hayatak (M al Ghazali)